Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

BEM FISIP Unair Dibekukan: Kritik Satire yang Keblabasan?

Senin, 28 Oktober 2024 | Oktober 28, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-27T21:34:27Z

 

Jaringan Jatim - Tindakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) kembali menuai kontroversi. Kritik yang disampaikan BEM FISIP Unair terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, melalui karangan bunga satire, bukan hanya menarik perhatian publik, tetapi juga memancing respons keras dari Dekanat. Akibatnya, BEM FISIP Unair dibekukan secara sepihak.

Banyak yang menilai bahwa ekspresi kritik dalam bentuk satire seharusnya menjadi ruang bebas bagi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, apa yang dilakukan oleh BEM FISIP Unair patut dipertanyakan. Apakah kritik tersebut benar-benar berangkat dari niat murni untuk menyampaikan pesan politik, atau justru jatuh ke dalam kategori penghinaan yang berlebihan dan tidak produktif?

Sebagai salah satu organisasi mahasiswa yang mewakili suara civitas akademika, BEM FISIP seharusnya mampu menjadi agen perubahan dengan cara yang lebih bermartabat. Kritik memang merupakan bagian penting dari demokrasi, namun cara menyampaikannya juga harus bijak. Penggunaan karangan bunga satire untuk mengkritik Prabowo-Gibran mungkin terlihat kreatif, tetapi pada kenyataannya, bentuk kritik seperti ini justru lebih sering memicu reaksi emosional ketimbang memancing dialog yang konstruktif.

Bukankah seharusnya mahasiswa sebagai kaum intelektual mampu menyampaikan kritik dengan lebih elegan? Kritik keras dengan bahasa yang frontal justru berpotensi mengerdilkan argumen itu sendiri. Alih-alih mengundang diskusi, tindakan ini malah cenderung menjadi bahan olok-olok atau dianggap sebagai tindakan tidak dewasa. Mahasiswa, khususnya yang terlibat dalam organisasi seperti BEM, perlu menyadari bahwa tanggung jawab mereka lebih besar dari sekadar menyampaikan protes. Mereka memiliki peran penting dalam membangun opini publik yang kritis namun tetap menghargai norma-norma yang ada.

Tindakan BEM FISIP Unair ini, selain berujung pada pembekuan, menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah gerakan mahasiswa saat ini telah kehilangan esensi perjuangan intelektualnya? Bukankah kritik yang dilontarkan dengan kedewasaan dan pemahaman mendalam justru akan memiliki dampak lebih besar?

Kritik yang efektif seharusnya berangkat dari analisis mendalam dan solusi, bukan sekadar satire atau simbolisme yang ambigu. Jika BEM ingin memperjuangkan kepentingan mahasiswa dan rakyat, maka fokus mereka harus diarahkan pada substansi, bukan sekadar bentuk yang kontroversial. Mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan alternatif solusi yang rasional.

Pembekuan BEM oleh Dekanat FISIP Unair memang terlihat sebagai respons otoriter, namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa tindakan yang dilakukan BEM juga berpotensi memancing konflik yang tidak perlu. Saatnya mahasiswa introspeksi. Apakah cara yang mereka tempuh selama ini benar-benar efektif? Atau justru lebih banyak mengundang kontroversi ketimbang memberikan perubahan nyata?

Gerakan mahasiswa memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan perubahan di Indonesia. Namun, keberhasilan mereka selalu didasarkan pada kekuatan argumen yang solid, bukan hanya suara keras atau tindakan simbolis yang dangkal. Kini saatnya BEM FISIP Unair dan seluruh mahasiswa di Indonesia belajar dari kejadian ini. Kritik tetap harus disuarakan, tetapi dengan cara yang lebih matang dan beretika.

×
Berita Terbaru Update